Artikel

Safari Tokoh  RI ke kota-kota Bangka II

Pada hari Minggu tanggal 13 Maret 1949, acara jalan-jalan diadakan oleh Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) atas permintaan Ir. Sukarno. Masyarakat Mentok bersemangat berjalan kaki dari Pesanggrahan BTW Mentok menuju Tanjung Kalian. Barisan dipimpin Ir Sukarno dan didampingi Ali Sastroamijoyo.  Nampak di barisan depan pembawa bendara PORI yang berwarna biru putih dan tulisan PORI. 

Seminggu kemudian, pada tanggal  20 Maret 1949 diselenggarakan sebuah festival oleh Persatuan Olahraga Republik Indonesia dan Persatuan Wanita Indonesia di Pesanggrahan Menumbing. Peserta terdiri dari 40 anak sekolah Al Hidayah, 40 anggota PERWANI, anggota PORI dan masyarakat lainnya sehingga jumlah peserta mencapai 200 orang. Diantara mereka terdapat Bahrun (Ketua PORI), Rohani Jasin (Ketua PERWANI) dan 15 orang Indonesia yang teridentifikasi bergerak di bidang politik. Sebagian peserta ada yang naik bus untuk sampai Pesanggrahan Menumbing, seperti anak sekolah Al Hidayah yang di bawah bimbingan guru Hasan Basri. Sebagian lagi berjalan kaki dan menginap semalam, terutama anak laki-laki yang mulai besar.  Sebagian besar anggota PERWANI menggunakan baju merah dan selendang putih. Saat diadakan apel pembuka, Sukarno memulai sambutannya dengan pekik Merdeka sebanyak 3 kali. Kegiatan meliputi menyanyikan lagu, memainkan alat musik, pertunjukan  tarian dan makan siang bersama. Kegiatan ditutup dengan mengadakan apel bersama pada jam 14.00 WIB dan penyampaian sambutan oleh Ir. Sukarno, Mohammad Hatta dan Bahrun. Dalam sambutannya, Ir Sukarno mengatakan merasa senang atas sambutan dan antusias para pemuda-pemudi mengikuti kegiatan ini. Dengan menggunakan istilah “musuh kita”[1], Sukarno menjelaskan penahanan para pemimpin Indonesia di Bangka ini bagian upaya menjauhkan dari rakyatnya, namun justru terjadi sebaliknya, rakyat Bangka sangat antusias dan penuh semangat membela Republik Indonesia, walau sudah lama dikuasai pemerintah Belanda. Ini membuktikan bahwa rakyat Indonesia tidak ingin dipisahkan dalam beberapa negara bagian. Kita semua sama dan   untuk tujuan yang sama pula. Untuk itu perlu semangat persatuan abadi untuk kebaikan negara dan rakyat Indonesia. Selanjutnya Muhammad Hatta memberikan sambutan yang berisi ucapan terima kasih kepada PORI dan PERWANI serta peserta yang hadir atas pertemuan yang menyenangkan, pertunjukan hiburan dan sajian aneka rupa makanan minuman. Pujian diberikan atas prestasi PORI di bidang olahraga sepak bola dan pawai jalan kaki. Orang yang mencintai olahraga selalu sehat dan lincah bergerak. Badan sehat mempengaruhi kesehatan otak, terutama ketika kondisi sulit seperti ini  sangat diperlukan untuk memecahkan persoalan politik yang pelik dan rumit. Kaum muda membutuhkan akal sehat untuk berpartisipasi dalam pembangunan, pendidikan dan pemberantasan buta huruf. Kita harus siap menerima kemerdekaan Republik Indonesia yang tidak lama lagi akan tercapai. Kuncinya adalah harus berani dan aktif untuk meraih keberhasilan di masa depan. Bung Hatta mengakhiri sambutannya dengan meneriakkan Merdeka sebanyak tiga kali. Sambutan terakhir disampaikan Bahrun, Ketua PORI yang mengucapkan terima kasih atas pertemuan yang menyenangkan dan menyampaikan apresiasi kepada seluruh peserta kegiatan di Pesanggrahan Menumbing ini. 

Pada tanggal 25 Maret 1949, Ir. Sukarno menghadiri pertemuan di panti asuhan Mentok dan diikuti 50 anggota PERWANI, 15 tokoh masyarakat dan anak yatim piatu. Hadir juga Kepala Pemerintahan Mentok, Kemas Zainal Abidin. Pada hari Minggu, tanggal 27 Maret 1949, bertepatan 27 Jumadil Awal 1368 Hijriah masyarakat Kampung Tempilang mengadakan kegiatan festival panen yang dipimpin langsung oleh Gegading Abdul Karim. Kegiatan ini diluar jadwal tahunan perayaan sedekah kampung, seperti Perang Ketupat yang diselenggarakan setiap menjelang bulan Ramadhan. Diawali kunjungan Badrun (Ketua PORI dan SENI Mentok) ke Tempilang dan memberitahukan kesediaan para pemimpin Republik Indonesia datang ke Tempilang. Menjelang hari pelaksanaan, Gegading (Kepala Kampung) mengimbau agar penduduk menyiapkan makanan untuk di bawa ke Balai pertemuan dan mengumpulkan uang untuk dipergunakan membiayai berbagai pengeluaran, termasuk biaya sewa kendaraan khusus anggota PORI. Informasi rencana kehadiran Sukarno dan para pemimpin Republik ke Tempilang menyebar ke kampung-kampung sekitar Tempilang, seperti Tanjungniur, Penyampak, Sangku, Kotawaringin dan Kelapa. Sehingga pada hari Minggu itu, gelombang kedatangan masyarakat ke Tempilang mencapai 3000 orang dan tamu dari Mentok sebanyak 150 orang. Sukarno hadir didampingi para pemimpin Republik lainnya, Kepala Pemerintahan Mentok, Pengurus Pegadaian, Kepala kantor PTT (Kantor Pos), Kepala Dinas  Distribusi, Kepala Pusat Listrik dan grup musik dari Mentok. Para tamu diterima di Balai Pertemuan, disajikan aneka makanan, hiburan musik tradisional dan anak-anak sekolah menyanyikan Indonesia Raya. Dalam sambutannya, Bung Hatta mengenang kembali perjalanan perjuangan politik untuk meraih kedaulatan rakyat Indonesia sejak tahun Agustus 1945. Masyarakat Bangka sangat mendukung perjuangan ini seperti ditunjukkan dalam setiap kunjungan ke beberapa kota, seperti Belinyu, Sungailiat, Pangkalpinang, Koba dan Toboali. Setelah itu Bahrun mengajak Sukarno dan para pemimpin lainnya untuk ikut permainan rakyat. Kegiatan di Tempilang  berjalan lancar dan tertib. Rombongan pemimpin Republik melanjutkan perjalanan menuju Pangkalpinang untuk melakukan pertemuan dengan UNCI dan beberapa pejabat Republik dari Jakarta.

Pada tanggal 28 Maret 1949, seorang Nangjoe bin Wahid dari Palembang mengunjungi Muhammad Hatta dan para pemimpin Republik lainnya di Pangkalpinang. Nangjoe bin Wahid merupakan seorang saudagar yang baru tiba di Tempilang dengan membawa muatan berupa kopi dan barang dagangan lainnya. Tidak ketahui maksud dan tujuan bertemu dengan Drs. Muhammad Hatta.

Keesokan harinya, Ir Sukarno, AG. Pringgodigdo dan Suwanto (Wakil KAPOLRI yang datang bersama rombongan UNCI) melakukan kunjungan ke Sungailiat, tepatnya ke rumah Jusuf Saad Alfirdausi (seorang guru Sekolah Arab), rumah Kepala Pemerintahan Sungailiat dan Masjid. Depan rumah Jusuf Saad Al Firdausi dipasangi gerbang kehormatan yang dihiasi bunga merah dan diatas gerbang terdapat tulisan huruf besar”M”. Dalam rumah terpasang bendera merah putih berukuran 1 x 0,80 meter dan lukisan potret Sukarno. Ada 800 orang yang menyambut kehadiran rombongan Sukarno dan menyapa dengan pekik Merdeka. Bung Karno naik panggung untuk menyampaikan pidato singkat. Selepas itu mereka menuju rumah kepala pemerintahan Sungailiat dan masjid. Kemungkinan yang dimaksud adalah Masjid Jamik Arridho lingkungan Cokroaminoto sekarang. Penghulu Abu Bakar (salah satu pengurus Serikat Kaum Buruh) memberikan sambutan ungkapan syukur kepada Allah SWT dapat bertemu langsung dengan Sukarno yang dipanggilnya Bapak Yang Mulia. Sukarno membalas sambutan dengan menyebut sebelum matahari terbit pada tahun 1950, kemerdekaan Indonesia akan tercapai. Ketika kembali ke rumah Jusuf Saad Al Firdausi , orang-orang yang menunggu menyanyikan lagu Indonesia Raya yang diiringi korps musik MUSI. Dalam kesempatan ini Ishak Lazim memberikan kenangan-kenangan kepada Sukarno berupa batu mulia.

Pada tanggal 30 Maret 1949,   Sukarno melanjutkan kunjungan ke Koba dan didampingi Sidi Minik (Kepala Pemerintahan Pangkalpinang) dan Se Siong Men. Mereka disambut 400 pelajar  SD dan sekolah Arab beserta gurunya yang sengaja meliburkan aktivitas pengajaran. Selain itu terdapat beberapa pekerja BTW, V en W (Dinas Pekerjaan Umum), dan BB (Binnenlands Bestuur/ Pemeritahan Dalam Negeri) yang rela meninggalkan pekerjaannya demi menyambut Sukarno.  Sukarno meminta anak-anak menyanyikan lagu Indonesia Raya di bawah pimpinan Hamzah bin Limin (Guru Volksschool) dan berteriak Merdeka. Sukarno memanggil Hamzah bin Limin untuk membahas pendidikan. Seorang saksi mata bernama Umar (kini 89 tahun) mengatakan Sukarno menggunakan kopiah hitam dan baju putih. Beliau berpidato hampir 1 jam mengenai kemerdekaan Indonesia. Pekik Merdeka selalu terdengar di sela-sela kunjungan. Setelah selesai seluruh kegiatan di Koba, rombongan melanjutkan perjalanan ke Toboali.  Begitu sampai di rumah kepala  pemerintahan Toboali, telah berkumpul 500 pelajar dan masyarakat, termasuk para pekerja BTW, V en W (Dinas Pekerjaan Umum), dan BB (Binnenlands Bestuur/ Pemeritahan Dalam Negeri). Beberapa lagu dinyanyikan, termasuk Indonesia Raya di bawah pimpinan Hamsiah dan Abdul Gani. Setelah mengunjungi Djaelani Kin (Pengurus SENI Toboali) rombongan kembali ke Pangkalpinang.    

Pada hari Jum’at, tanggal 1 April 1949, Abang Muhammad Jusuf Rasidi (Anggota Bangkaraad) melangsungkan pernikahnnya dengan Soleha Said (mantan ketua PERWANI). Sukarno hadir sebagai saksi pernikahan dan H. Agus Salim sebagi penghulu pernikahan.   Pada tanggal 25 April 1949, Kunjungan Sukarno ke Belinyu dan menyempatkan singgah di Masjid Jami’ Kotapanji Kampung Tengah. 

Bung Karno pun sering bertemu masyarakat dalam rapat-rapat umum di masyarakat. Waktu itu ada rapat raksasa di Balai Haminte (gemeente) di Kota Pangkalpinang. Aku pun ikut hadir. Di sekeliling balai itu orang bersesak-sesakan dan berdesak-desakan. Suasananya ribut sekali. Tetapi tatkala Pak Karno akan memulai pidatonya, keadaannya menjadi tenang. Seperti sediakala Pak Karno mengucapkan pidatonya dengan berapi-api, membangkitkan semangat dan kesadaran berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu (Bakar, 1993:48).     

Kedatangan Bung Karno ke pulau Bangka menyebabkan semakin meningkatnya semangat juang dan rasa cinta rakyat Bangka terhadap Republik Indonesia, Bung Karno sering berbicara di muka umum, mimbar Jumat, menerima delegasi dari kelompok-kelompok politik setempat, di tempat pengasingannya di Mentok. Ia berjanji bahwa “merdeka” akan datang sebelum matahari terbit di Tahun 1950. Para pemimpin Republik di Bangka mengunjungi pasar, menghadiri acara-acara olahraga, ikut dalam pesta panen dan bahkan menghadiri pesta pernikahan Joesoef Rasidi, anggota dewan Bangka pro-Republik  (Abdullah, 1983:173). Bersamaan dengan kedatangan Bung Karno ke pulau Bangka, banyak khalayak yang tidak mengetahui, bahwa Bendera Pusaka Sang Merah Putih, juga dibawa Bung Karno ke pulau Bangka dan disimpan dengan sangat hati- hati di rumah Jusuf Rasidi di Kota Mentok dan pada saat Bung Karno kembali ke Yogyakarta pada Tanggal 6 Juli 1949 atau setelah ditandatanganinya perundingan Roem-Royen, Bendera Pusaka Sang Merah Putih diminta kembali oleh Bung Karno kepada Jusuf Rasidi untuk dibawa kembali oleh Bung Karno ke Yogyakarta.

 

 

 


[1] Penggunaan istilah ini diprotes keras oleh Residen C. Lion Cachet dalam surat pengantar Sitrap nomor 12 dan 13 yang ditujukan ke pejabat di Batavia  pada tanggal 29 Maret 1949. Residen Bangka Belitung ini melarang pengunaan istilah “Musuh kita” di dalam pertemuan terbuka.

Penulis: 
Ali Usman Pamong Budaya
Sumber: 
DISPARBUDKEPORA KEP. BABEL
Tags: 
Pengasingan Pemimpin Republik | Pengasingan Sukarno | Pengasingan Hatta | Pengasingan Bangka | Mentok | Menumbing | Pesanggrahan Mentok | Pesanggrahan Menumbing | Pangkalpinang | Revolusi Kemerdekaan

Artikel

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/01/31/pariwisata-indonesia-yang-makin-memukau
DISPARBUDKEPORA KEP. BABEL
DISPARBUDKEPORA KEP. BABEL
DISPARBUDKEPORA KEP. BABEL
12/12/2021 | DISPARBUDKEPORA KEP. BABEL
12/12/2021 | DISPARBUDKEPORA KEP. BABEL
12/12/2021 | DISPARBUDKEPORA KEP. BABEL