Artikel

Safari Tokoh  RI ke kota-kota Bangka I

Setelah mendapat kebebasan bergerak di seluruh Pulau Bangka, Mohammad Hatta dan AG. Pringgodigdo mendapat kesempatan ke Pangkalpinang untuk mengadakan pertemuan dengan Residen C. Lion Cachet dan Ketua Bangkaraad Masyarif Dato’ Bendahara Lelo pada tanggal 19 Januari 1949. Selepas pertemuan tersebut, mereka jalan-jalan ke pasar Pangkalpinang dan ini pertama kali berbaur dengan masyarakat biasa setelah diasingkan di Pulau Bangka. Saat masuk pasar, Mohammad Hatta didatangi masyarakat Pangkalpinang. Mereka mengenal sosok Bung Hatta, kemudian menyapa, memberi salam, mengucapkan pekik merdeka dan melambaikan kain berwarna merah putih. Beliau sangat terharu melihat bagaimana rakyat Pangkalpinang mencintai wakil presidennya.  Makin lama kerumunan masyarakat Pangkalpinang semakin banyak dan kemungkinan akan mengganggu aktivitas pasar, beliau memutuskan kembali ke mobil BN 10, meninggalkan pasar Pangkalpinang dan kembali ke Menumbing.

Keesokan harinya, tanggal 20 Januari, Mr Ali Sastroamijoyo dan Muhammad Rum jalan-jalan ke Kota Mentok menggunakan mobil BN 10. Dalam perjalanan berangkat ke Mentok, masyarakat melihat mobil ini dan mengetahui  penumpangnya merupakan tokoh Republik yang diasingkan di Menumbing. Mereka lantas menyapa dan mengucapkan pekik merdeka. Karena tidak ada jalan lain menuju Menumbing, mobil BN 10 melewati jalan yang sama dan mendapati kerumuman masyarakat di dua tempat.  Mereka berteriak “ Merdeka” saat mobil melewati kerumuman masyarakat Mentok.

Sebagai bentuk balasan atas keramahan Kemas Zainal Abidin, para tokoh Republik bertandang ke rumah beliau di Mentok dan dijamu makan malam pada tanggal 21 Januari 1949. Di saat itulah masyarakat Mentok berdatangan, mengucapkan salam dan meneriakkan pekik “ Merdeka” tiada henti. Para tokoh Mentok yang hadir antara lain  Bahrun (Sekretaris SENI), M. Said (Presiden SENI), Yusuf Rasidi, Sukri Rasidi, Hasan Basri dan Nasir (mantan perwira TRI). Total ada 70 orang (laki-laki, perempuan dan anak-anak) yang hadir malam itu. Dalam kesempatan ini Muhammad Hatta mendapat permintaan agar menerima kunjungan anak-anak sekolah ke Menumbing dan disanggupi dengan senang hati. Keesokan harinya, ternyata rombongan 40 anak sekolah dan 4 guru pendamping tidak jadi datang ke Menumbing karena dilarang pejabat Belanda dan pejabat militer yang menganggap kegiatan tersebut sebagai demonstrasi. Informasi keberadaan para pemimpin Republik Indonesia menyebar di kalangan penduduk Mentok dan sekitarnya dengan sebutan “Bapak Kita.”

Setelah pertemuan di Menumbing pada hari Minggu tanggal 23 Januari 1949, rombongan dari Jakarta, yakni Prof Supomo, Mr. Sudjono,  Dr Darma Setiawan, Djumhana dan Ateng diantar sampai ke kota Mentok oleh  Ali Sastroamijoyo, AG. Pringgodigdo dan Muhammad Rum. Mereka menyempatkan singgah di toko untuk membeli oleh-oleh dari timah. Mengetahui kedatangan para tokoh dari Menumbing, masyarakat berdatangan,  berkerumun  dan berterik “ Merdeka.” Perwakilan BFO menyaksikan sendiri antusias masyarakat Mentok menggelorakan “Merdeka” di mana-mana. Mobil BN 10 telah menjadi penanda kehadiran para pemimpin Republik Indonesia yang berada di Menumbing. 

Informasi kehadiran Muhammad Hatta di Pangkalpinang menyebar di kalangan masyarakat Bangka. Beberapa tokoh masyarakat Pangkalpinang seperti Daniali Abdullah (Wakil Ketuan SKB), Badrin (Anggota pengurus KRIB), Sujatin (Anggota Bangkaraad), M. Saleh (Ketua KRIB), Idris H. Sani dan A. Kadir mencoba menemui Drs. Muhammad Hatta, namun sudah kembali ke Mentok. Kemudian mereka melakukan pertemuan di Rumah A.M. Ali (anggota Bangkaraad) dan membentuk panitia penyambutan Drs. Hatta di Pangkalpinang yang terdiri A.M. Ali, Daniali Abdullah, M. Saman, M. Tarua, Idris H. Sani dan M. Saleh. Seorang pengusaha bernama Sulaiman memberi uang sebesar 1000 gulden untuk membiayai pertemuan yang direncanakan di markas KRIB. Persiapan pun dilakukan oleh Sujatin, Badrin, Romawi Latif (anggota Bangkaraad), A. Samad (Guru) dan Hundani  dengan membuat  cocarde berwarna merah putih (karangan bunga?) yang akan diserahkan saat kedatangan Drs. Muhammad Hatta. Masyarakat Toboali  pun membentuk panitia penyambutan kedatangan para pemimpin Republik Indonesia atas inisiatif Alwi Ali (sekretaris II SENI) dan Ali Nurdin (Sekretaris I SENI) dan memutuskan panitia dipimpin Jaelani A Kin. Sementara itu Ishak Lazim (ketua SENI dan GII di Sungailiat) dan 6 orang lainnya dari Kaum Wanita  berencana menemui Drs. Muhammad Hatta di Mentok untuk menyampaikan undangan kunjungan ke Sungailiat dan memberi  hadiah berupa kain Sumatra. Atas saran dari Ketua Bangkaraad, Masyarif Datok Bendahara Lelo untuk menunda pertemuan dengan Bung Hatta karena jadwal beliau sudah penuh. Lantas mereka berbicara dengan kepala pemerintahan di Mentok dan Sungailiat untuk mengatur kehadiran Drs. Muhammad Hatta di Sungailiat. Sementara itu di kalangan orang China, kehadiran para pemimpin Republik Indonesia ini tidak direspon secara positif, justru menyalahkan atas tindakan kekejaman yang dialami orang China di wilayah Republik Indonesia. Mungkin yang dimaksudkan ini adalah orang China yang pro Belanda mendapat perlakukan “hukuman” dari pasukan TNI.

Pada tanggal 26 Januari 1949, Drs. Muhamamd Hatta kembali mengunjungi Pangkalpinang dan bertemu dengan Masyarif Datok Bendahara Lelo di rumahnya. Beliau menerima 12 orang pengurus  PERWANI yang ingin menunjukkan simpati kepada para pemimpin Republik Indonesia. Sore harinya, dua orang yang bernama Abdurazak dan Muchtar datang dan menunjukkan hak untuk berserikat dan berkumpul walau dalam kekuasaan Belanda. Keduanya lantas dinasehati Masyarif dan Bung Hatta bahwa sikap tersebut tidak pantas. Momen ini sempat didokumentasikan dalam foto.    

Rencana kunjungan para pemimpin Republik Indonesia ke beberapa kota di Pulau Bangka terlaksana pada tanggal 1-2 Februari 1949. Rombongan terdiri Drs. Muhammad Hatta, Mr. Asaat, Mr. Muhammad Rum dan didampingi Kemas Zainal Abidin dan AM. Yusuf Rasidi. Abang Zulkarnaen fotografer dari Mentok merekam perjalanan dan di mulai kunjungan ke Belinyu. Ada 3 tempat yang dikunjungi, yakni pusat pembangkit listrik Mantung, rumah Asisten Residen Belinyu (sekarang Rumah dinas camat Belinyu) dan komplek kantor BTW Belinyu. Saat berada di rumah dinas Asisten Residen, 100 orang Belinyu telah berkumpul di halaman, berusaha berjabat tangan dengan para pemimpin Republik Indonesia dan berteriak dengan lantang “Merdeka”. Rupanya Kemas Zainal Abidin telah bertindak sebagai provokator pekik “Merdeka” saat ketemu dengan masyarakat dan ini disayangkan Residen Bangka Belitung C. Lion Cachet yang menyebutnya sebagai pegawai negeri sipil yang memiliki kecenderungan berpihak ke Republik Indonesia. Setelah kepergian rombongan Bung Hatta, suasana Belinyu kembali tenang, namun muncul kebanggaan di masyarakat Belinyu telah bertemu langsung dan berjabat tangan dengan para pemimpin Republik Indonesia.

Perjalanan dilanjutkan menuju Sungailiat dan sampai pada pukul 3 sore. Mereka berhenti di sebuah masjid dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki menuju rumah kepala pemerintah Sungailiat. Ada 100 orang Sungailiat yang menyambut kedatangan para pemimpin Republik Indonesia dengan meneriakkan pekik “Merdeka” dan berjabat tangan. Kemas Zainal Abidin membangkitkan semangat di kalangan masyarakat Sungailiat dengan memimpin salam “Merdeka” secara lantang dan keras. Setelah makan malam, mereka kembali ke Masjid untuk melaksanakan sholat bersama-sama masyarakat Sungailiat yang berduyun-duyun datang ke Masjid.  Pada pukul 21.30 WIB rombongan menuju Pangkalpinang untuk istirahat dan bermalam.

Keesokan harinya, tanggal 2 Februari 1949, rombongan bergerak menuju Koba dan disambut 150 orang  di halaman rumah Kepala Pemerintahan Koba. Masyarakat  dengan tertib memberi jalan masuk ke rumah, berjabat tangan,  berteriak Merdeka dan sebagian berkata “selamat berjuang.” Perjalanan dilanjutkan menuju rumah kepala pemerintahan Toboali. Rombongan Drs. Hatta disambut barisan 70 anak di halaman dan 200 orang yang penuh sesak di dalam rumah. Teriakan pekik Merdeka terdengar, walau tidak nyaring, Setiap orang pemimpin Republik menerima hadiah dari istri kepala pemerintahan berupa sekotak rokok yang terbuat dari anyaman tradisional. Karena hujan, rencana melakukan tur dibatalkan dan selanjutnya mereka kembali ke Pangkalpinang dengan iringan pekik Merdeka.

Keramaian terjadi di Pelabuhan Mentok gara-gara tersiar kabar Sukarno tiba menggunakan pesawat Amfibi. Anggota dari Serikat Nasional Indonesia (SENI), Persatuan Wanita Indonesia (PERWANI) dan masyarakat Mentok terlanjur kumpul ketika kabar terbaru Sukarno mendarat di Pangkalpinang. Kedatangan Sukarno dan Haji Agus Salim pada tanggal 5 Februari 1949 disambut hangat masyarakat Pangkalpinang. Dari dermaga pelabuhan Pangkalbalam sampai jalanan kota Pangkalpinang yang dilewati rombongan menuju Mentok penuh sesak masyarakat Bangka dan terdengar teriakan pekik Merdeka dimana-mana. Apalagi Sukarno memilih duduk di atas kap mobil BN 2, sebuah keputusan yang ingin menunjukkan kepada pemerintah Belanda bahwa para pemimpin Republik Indonesia dekat dengan rakyatnya. Sekitar 16.30 WIB, masyarakat Bangka berdiri di sepanjang jalan Pangkalpinang-Mentok untuk menyambut rombongan Sukarno dan Agus Salim dengan teriakan Merdeka dan slogan lainnya.

Dua hari berlalu, terdengar kabar Sukarno akan datang lagi ke Pangkalpinang pada tanggal 8 Februari 1949. Orang-orang Bangka yang pro Republik berencana melakukan penyambutan secara besar-besaran. Penggalangan dana dilakukan.  Wanita membuat karangan bunga merah putih untuk dipersembahkan kepada Sukarno.  Rencanannya Sukarno akan keliling kota Pangkalpinang diatas mobil terbuka. Kelompok pemusik disiapkan untuk menyanyikan lagu “Indonesia Raya.” Toko-toko akan ditutup. Keesokan harinya, massa berkumpul di simpang jalan Mentok-Pangkalpinang berharap kedatangan Sukarno. Tidak hanya dari Pangkalpinang, masyarakat Sungailiat berduyun-duyun naik bus ke Pangkalpinang begitu mendengar kehadiran Sukarno. Hanya rombongan delegasi BFO dan Republik Indonesia yang kelihatan, selain para pejabat Belanda dan polisi yang mengawal rombongan. Tersiar Sukarno batal ke Pangkalpinang, namun masyarakat Pangkalpinang tidak percaya begitu saja. Mereka memaksa memeriksa mobil terakhir dan berharap ditumpangi Sukarno, namun berhasil dicegah polisi pengawal rombongan. Keramaian juga terjadi sepanjang jalan menuju Lapangan udara Kampung Dul sehingga memaksa merubah rute jalan lain untuk sampai ke Lapangan udara Kampung Dul (kini Bandara Depati Amir).

Pada tanggal 9 Februari 1949, Ishak Lazim ketua SENI dari Sungailiat dan belasan tokoh politik lainnya bertemu dengan Ir Sukarno dan Agus Salim di Mentok. Pertemuan secara bergiliran setiap 3 orang. Setelah itu Ir Sukarno, Haji Agus Salim dan Muhammad Rum menerima wawancara dengan seorang wartawan Amerika Serikat yang bernama  Mr. Isaacs. Dalam kesempatan ini Mr Issaacs mengambil beberapa foto keberadaan para pemimpin Republik di Menumbing.

Pada tanggal 12 Februari 1949, masyarakat Pangkalpinang mengetahui kedatangan Ir. Sukarno di Pangkalpinang untuk menghadiri  konferensi dengan delegasi dari Komisi untuk Indonesia (UNCI). Namun, sebagian besar masyarakat meragukan kedatangannya karena telah kecewa sebelumnya dan pemberitaan pers dan radio mengenai tindakan yang diambil terhadap Ir. Sukarno dalam kaitannya dengan ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Ketika diketahui secara pasti bahwa Ir. Soekarno memang telah meninggalkan Mentok, beberapa orang berusaha menggugah masyarakat untuk hadir menyambut kedatangan Soekarno. Dalam waktu terlalu singkat, sekelompok masyarakat Pangkalpinang berbaris di pinggir jalan. Sementara polisi bertindak ketat sepanjang rute yang dilalui rombongan pemimpin Republik Indonesia. Mereka lantas berteriak  "merdeka" dengan lantang dan  keras saat mobil-mobil itu lewat. Pada malam harinya masyarakat berkumpul di depan gedung bioskop untuk menyambut keluarnya Muhammad Hatta dengan berteriak "merdeka." Mereka menginap di Pangkalpinang dan kembali ke Mentok keesokan harinya atau tanggal 13 Februari 1949 jam 15.00 WIB. Berita ini ditulis oleh harian “Pembangunan Bangka-Belitung” sebagai berikut :

“Kunjungan UNCI di Bangka, Hari Sabtu yang lalu, Penjagaan polisi   pada djalanan-djalanan juga menjurus ke gedung tersebut dilakukan dengan aktif, sehingga pertemuan itu dapat berjalan dan tidak mendapat gangguan dari suara-suara  berisik di jalan umum, ataupun terbebas dari kerumunan rakyat, juga dari paginya telah tampak mulai tidak tenang. Anggota-anggota Komisi Jasa-Jasa Baik enz…”[1]

Suatu hari, Ir Sukarno, Haji Agus Salim dan Muhammad Rum jalan-jalan di kota Mentok dan bertemulah dengan empat orang gadis pelajar sekolah. Terjadi percakapan sebagai berikut :

Anak-anak menyapa pemimpin Republik dengan "Merdeka Pak" yang dijawab oleh Sukarno dengan "Merdeka".

Salah seorang gadis dipanggil oleh Soekarno dan anak itu ditanyai pertanyaan "Apa arti Merdeka?" Anak itu menjawab: "Artinya Indonesia kita tidak mau lagi dikuasai (tak mau dijajah lagi)”

Ir. Soekarno lebih lanjut bertanya, “Untuk siapa kemerdekaan ini dimaksudkan?”

Jawabannya adalah: “Untuk rakyat Indonesia”.

Pertanyaan: “Kok bisa kenal Bapak, siapa yang memberi tahu?”

Jawaban: “Bapak sudah tidak asing lagi bagi seluruh nusantara”

Pertanyaan : “Apa yang dilakukan bapak”?

Jawaban: “Bapak adalah Bapak Republik Indonesia”.

 ir. Soekarno kemudian berkata "Bagus jadi (bagoes)"[2]

 

Dari awal pemandangan jalanan ini disaksikan oleh seorang jurnalis Amerika dan mengambil foto kejadian tersebut.   Ir. Sukarno menerjemahkan  percakapan apa yang telah dia lakukan dalam  versi bahasa Inggris. Nampaknya kehadiran Sukarno telah diketahui hampir seluruh lapisan masyarakat dan itu membangkitkan semangat nasionalisme di setiap masyarakat Bangka. Seperti yang digambarkan dalam percakapan di atas.Selama berada di Pesanggrahan Mentok, silih berganti Bung Karno bertemu dengan tamu yang datang berkunjung. Di antara pengunjung yang diterima oleh para Pemimpin Republik Indonesia  setiap harinya antara lain  Sujatin (anggota Bangkaraad, Ketua Kebaktian Rakyat Indonesia Bangka /KRIB), Ishak Lazim (Ketua Serikat Nasional Indonesia/SENI), Jusuf Rasidi (Anggota Bangkaraad), M. Said (ketua SENI Mentok), Bahrun (Sekretaris SENI Mentok), Danieli Abdullah (Wakil Ketua Serikat Kaum Buruh/ SKB Bangka, Anggota Dewan Guru KRIB), AM Ali (Anggota Bangkaraad), M. Saleh (Pengurus Madrasah Siti Hadijah), Burhan dan Arbaimamat  (Delegasi dari Partai Indonesia Muda Billiton, dr. Lim Tjae Le (Wakil Ketua Bangkaraad), Moh Jusuf (Anggota Bangkaraad), Hee Jat Sun (Ketua Chief Executive Officer Serikat Kaum Buruh Bangka), Tao Hsiao Wan (Konsul Cina) dan Tsiang Chia Tung (Konsul Jenderal dari Jakarta) yang meminta tanpa hasil kepada Sukarno untuk berdiri menentang serangan-serangan orang Republik terhadap orang Tionghoa di Jawa. Mereka terdaftar sebagai perwakilan organisasi Serikat Nasional Indonesia (SENI), Persatuan Wanita Indonesia (PERWANI), Kebaktian Rakyat Indonesia – Bangka (KRIB),  Partai Indonesia Muda Belitong, Sekolah Islam Sitti Hadijah dan Sekolah Al Hidayah.

 


[1] Dikutip ulang dari Sitrap No 8 tahun 1949.

[2] Sitrap No 9 tanggal 19 Februari 1949.

Penulis: 
Ali Usman Pamong Budaya
Sumber: 
DISPARBUDKEPORA KEP. BABEL
Tags: 
Pengasingan Pemimpin Republik | Pengasingan Sukarno | Pengasingan Hatta | Pengasingan Bangka | Mentok | Menumbing | Pesanggrahan Mentok | Pesanggrahan Menumbing | Pangkalpinang | Revolusi Kemerdekaan

Artikel

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/01/31/pariwisata-indonesia-yang-makin-memukau
DISPARBUDKEPORA KEP. BABEL
DISPARBUDKEPORA KEP. BABEL
DISPARBUDKEPORA KEP. BABEL
12/12/2021 | DISPARBUDKEPORA KEP. BABEL
12/12/2021 | DISPARBUDKEPORA KEP. BABEL
12/12/2021 | DISPARBUDKEPORA KEP. BABEL