Hasil perundingan Rum-Royen ini mendapat reaksi keras dari berbagai pihak di Indonesia, terutama dari pihak TNI dan PDRI. Protes keras dari pihak TNI (Tentara Nasional Indonesia), terutama terhadap isi persetujuan yang disampaikan oleh delegasi Indonesia yang menyatakan: ”mengeluarkan perintah kepada “pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya”. Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Soedirman sebelum disetujuinya Rum Royen, pada Tanggal 1 Mei 1949 telah mengeluarkan amanat yang ditujukan kepada Komandan-komandan Kesatuan dan memperingatkan agar mereka tidak turut memikirkan perundingan karena akibatnya hanya akan merugikan pertahanan dan perjuangan. Panglima Besar Soedirman tidak begitu yakin dengan niat baik Belanda dalam persetujuan Rum-Royen, sebagaimana ingkarnya Belanda dalam perundingan-perundingan sebelumnya (seperti perjanjian Renville) yang merugikan pihak TNI dan Republik Indonesia. Jenderal Soedirman selaku Panglima Besar menganggap, bahwa hasil perundingan Rum-Royen belum sah sebelum disetujui oleh PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) yang secara yuridis formal telah memegang mandat kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia semenjak Agresi Militer Belanda Kedua, pada Tanggal 19 Desember 1948. Upaya kembalinya ibukota dan pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta dari Sumatera Tengah (PDRI) dan dari “ibukota bayangan” Republik Indonesia di Bangka (Kelompok Bangka) sebagaimana salah satu isi dari persetujuan dalam Rum-Royen tidak didukung oleh pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Tentara Nasional Indonesia melalui Panglima Besar Jenderal Sudirman mengatakan: “...Apakah orang-orang yang masih dalam tahanan atau pengawasan Belanda berhak merundingkan, lebih-lebih menentukan suatu yang berhubungan dengan politik untuk menentukan status negara kita, sedangkan telah ada pemerintah pusat darurat yang telah diresmikan sendiri oleh PYM Presiden ke seluruh dunia pada Tanggal 19 Desember 1948... Golongan mana yang benar, hanya sejarahlah yang dapat menentukan, tetapi keadaan semenjak Tanggal 19 Desember 1948 menjadi bukti yang nyata, bahwa semua perundingan dimasa lampau hasilnya hanya penderitaan pahit belaka, yang tidak dapat dilupakan oleh tiap-tiap orang yang benar-benar berjuang. Dalam menghadapi kemungkinan perundingan yang akan datang yang merupakan perundingan yang terakhir, yang akan menentukan nasib negara dan bangsa kita, kita harus bulat satu, teliti dan hati-hati...”(Zed, Mestika, 1997:251).
Kekecewaan yang disampaikan TNI melalui Panglima Besar Jenderal Sudirman memang beralasan dari sudut pandang militer, karena beberapa kali hasil-hasil perundingan yang telah disepakati bersama antara pihak Republik Indonesia dengan Belanda selalu diakhiri dengan agresi militer oleh pihak Belanda. Hasil-hasil perundingan Linggajati, kemudian hasil perjanjian Renville, semuanya diakhiri Belanda dengan agresi militer yang berakibat kerugian di pihak militer Indonesia, dalam hal ini Tentara Nasional Indonesia. yang sedang bergerilya untuk tetap menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemarahan Panglima Besar dan TNI atas kesepakatan Rum-Royen tersebut segera dilaporkan kepada Presiden Soekarno di Kota Pangkalpinang, yang segera mengirim surat dari Pangkalpinang tertanggal 23 Mei 1949 ditujukan kepada Yang Mulia Panglima Besar di Tempat. Surat ditandatangani oleh Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta dengan isi surat sebagai berikut:
“Merdeka!, Seperti Yang Mulia telah mengetahui, pada Tanggal 7 bulan ini oleh delegasi kita dan delegasi Belanda telah ditandatangani sebuah persetujuan mengenai pemulihan Pemerintah Republik ke Yogyakarta. Untuk melaksanakan pemulihan itu telah dibentuk Dua panitia, antara lain Satu panitia yang diketuai oleh YM Dr. Leimena dan yang berkewajiban membicarakan soal-soal tentang pemberhentian permusuhan (gencatan senjata dan sebagainya). Oleh karena pekerjaan ini mengenai banyak fihak militer, maka perlulah panitia ini dapat bantuan dari fihak militer kita. Sebab dari itu kami minta kepada YM supaya selekas-lekasnya membentuk Satu Panitia Militer, yang terdiri dari beberapa ahli, misalnya Kolonel Simatupang dan 2 atau 3 orang lagi, yang berkewajiban membantu Panitia Leimena tersebut. Selain daripada itu, kami mendengar bahwa YM sudah sembuh dan sekarang dapat bekerja dengan giat. Berita ini tentu saja menggembirakan hati kami. Supaya kami, jika Pemerintah Republik sudah kembali di Yogyakarta, lekas dapat berhubungan sehari-hari dengan YM dan YM dapat lekas masuk ke dalam kota, maka saya harap sudilah YM sekarang mendekati Kota Yogyakarta. Juga untuk menjaga kesehatan YM kami kira lebih baik YM lekas kembali ke Yogyakarta, jika Pemerintah Republik sudah ada di dalam kota itu. Wassalam Ttd (Soekarno) Ttd (Mohammad Drs. Muhammad Hatta) (Nasution, 1979: halaman Lampiran).
Hasil perundingan “Rum Royen” yang sangat menentukan nasib bangsa ini kurang mendapat respon dari PDRI. Hampir semuanya mengecam ”Kebijaksanaan Bangka” dan menyatakan tidak setuju dengan hasil-hasil yang dicapai dalam “R-R Statements” mereka berpendapat, lebih baik meneruskan perlawanan terhadap Belanda dari pada menerima “Rum-Royen Statements”. Pada umumnya berpendapat, bahwa seseorang yang berada dalam penawanan melakukan perundingan dengan orang yang menawannya adalah tidak sah dan tidak bebas mengeluarkan pendapat karena berada dalam tekanan. Bahkan ada yang menyebut Perjanjian Rum-Royen itu sebagai hasil dari pembicaraan seorang tahanan dengan Sipir (Juru kunci).
Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai pemimpin PDRI kemudian mengakui Kelompok Bangka atau “Trace Bangka”: “Saya sepaham dengan pandangan saudara-saudara dan begitu juga sepaham dengan apa yang diutarakan oleh saudara-saudara yang lain, tetapi jangan lupa, bahwa dunia luar mengetahui siapa Soekarno-Drs. Muhammad Hatta dan Republik Indonesia lebih berat kepada kedua beliau itu” (Husein, dkk, 1992:75). Harian Warta Indonesia mengabarkan Ketua PDRI Syafrudin Prawiranegara belum mendukung kesepakatan yang dicapai di Jakarta dan memerintahkan Sultan Hamengkubowono IX segera mengambil alih Yogyakarta setelah Belanda mundur. Pernyataan tersebut dikirim melalui telegraf ke Maramis di New Delhi dan diteruskan ke Muhammad Rum pada tanggal 14 Mei 1949. Berikut bunyi penyataan tersebut :
“Sehubungan dengan kesepakatan yang dicapai di Batavia pada tanggal 7 Mei antara Dr. van Royen dan Moh. Rum, Pemerintah Darurat mengumumkan dengan persetujuan semua menteri dan kepala staf, Pemerintah darurat menginstruksikan para pemimpin republik di Bangka pada 27 Maret:
- Kembalinya pemerintah republik ke Yogyakarta berarti pemerintah Belanda pada prinsipnya mengakui kekuasaan pemerintah Republik atas seluruh Jawa, Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya, sebagaimana telah diakui dalam Perjanjian Linggajati.
- Satuan-satuan TNI yang sekarang ini tersebar di Jawa, Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya tidak akan ditarik dari wilayahnya sebelum pemerintah federal Indonesia terbentuk.
Untuk sementara, pemerintah darurat tidak bisa mengambil sikap atas kesepakatan pendahuluan itu sampai mendapat informasi yang cukup dari Sukarno dan Hatta. Atas dasar itu, pemerintahan darurat belum dapat mengembalikan kekuasaannya kepada pemerintahan Sukarno-Hatta, meskipun para anggota pemerintahan tersebut akan bertemu kembali di Yogyakarta. Pengembalian ini hanya dapat dilakukan setelah pemerintah darurat yakin bahwa pemerintah Sukarno-Hatta memang bebas untuk memenuhi tugasnya.”[1]
Surat kabar Republik “Waspada” yang terbit di Medan melaporkan bahwa pada Jumat malam radio Republik di Kotaradja (Aceh) mengumumkan sehubungan dengan pernyataan Dr. van Royen dan Moh. Rum pemerintah darurat Republik menganggap perlu untuk berkonsultasi dengan para pemimpin Republik di Bangka terlebih dahulu sebelum menyetujui perjanjian. Syafrudin Prawiranegara memberitahu Muhammad Rum meminta pertemuan antara pemerintah darurat dan para pemimpin di Bangka di suatu tempat di wilayah Republik yang ada di Sumatra. Sebuah telegraf dikirim ke Maramis di New Delhi berbunyi “Bahkan jika tercapai kesepakatan antara pemerintah republik dan pemerintah Belanda, kami orang Indonesia curiga terhadap niat Belanda. Padahal Dr. van Royen menyakinkan Muhammad Rum, bahwa pemerintah Belanda akan jujur mematuhi kesepakatan yang dicapai, pemerintah darurat tidak bisa menghilangkan ketidakpercayaan ini, mengingat pengalaman pahit di masa lalu sejak abad ke-19. Atas dasar itu, Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa harus didesak untuk mengambil langkah-langkah untuk memperoleh jaminan yang lebih jelas mengenai Belanda akan memenuhi janjinya, yaitu penyerahan kedaulatan penuh tanpa syarat kepada rakyat Indonesia.[2] Berkaitan dengan laporan posisi darurat pemerintah republik dalam perjanjian tersebut, Muhammad Rum ke harian republik "Merdeka" mengatakan laporan tidak dapat digunakan sebagai titik awal, karena mereka saling bertentangan dan menyakini pemerintah darurat mendukung kesepakatan ini dari awal. Semuanya akan jelas setelah kabinet Republik bertemu di Yogyakarta untuk menegakkan posisi pemerintahan Republik Indonesia, termasuk mencabut mandat yang diberikan ke PDRI.
Protes dari kalangan oposisi yang dikomandoi oleh Sutan Sjahrir tentang prakarsa perundingan Indonesia Belanda oleh kelompok Bangka didasari oleh pengalaman sejarah, bahwa pihak Indonesia selalu dirugikan dan Belanda selalu mengingkari perjanjian bersama yang telah disepakati, walaupun sesungguhnya Belanda sangat diuntungkan dari perjanjian tersebut. Misalnya pemerintah Belanda melakukan Agresi Militer Pertama dalam bulan Juli Tahun 1947 dengan mengingkari perjanjian Linggarjati dan kemudian melakukan Agresi militer Kedua dengan mengkhianati perjanjian Renville. Belanda melalui agresi Militer Kedua yang disebutnya sebagai “aksi polisionil” tidak hanya tidak mengakui dan terikat lagi dengan perjanjian Renville akan tetapi menyatakan, bahwa Republik Indonesia sudah lenyap dari muka bumi.
Kelompok oposisi tidak menyetujui perundingan yang dilakukan oleh kelompok Bangka karena mengatasnamakan Republik Indonesia dan mengabaikan keberadaan PDRI sebagai penerima mandat kekuasaan dan Kelompok Bangka, dianggap gegabah menolak tawaran Pemerintah Belanda untuk mempercepat penyerahan kedaulatan Indonesia melalui Pemerintah Federal Sementara (RIS). Sjahrir sebagai pemimpin oposisi menilai, bahwa kelompok Bangka hanya mementingkan kepentingan sendiri yaitu mengembalikan pemerintahan ke Yogyakarta. Sjahrir tidak keberatan Yogyakarta tetap di bawah kekuasaan Pemerintah Belanda, jika sebagai gantinya Pemerintah Belanda mau memberikan jaminan untuk mencari penyelesaian menyeluruh dalam mengatasi konflik Indonesia-Belanda.
Dalam wawancara dengan Koran Sin Po, Sutan Syahrir membantah pemberitaan yang menyebut dirinya tidak setuju dengan kebijakan Sukarno-Hatta dan menyebabkan kegemparan di kalangan politik dan diplomatik, khususnya di kalangan Republik. Syahrir mengaku tidak pernah ada wawancara, hanya percakapan biasa dan memunculkan kesimpulan yang salah. Mengingat adanya desas-desus bahwa Partai Sosialis Indonesia akan kehilangan suara dalam kesepakatan Van Royen-Rum, Sjahrir mengajukan beberapa kemungkinan, mengingat PSI abstain dalam pembahasan Kesepakatan Renville. Sjahrir menyatakan bahwa dalam dunia politik sudut pandang pribadi bisa sangat berbeda dari sudut pandang sebuah partai. Dia lebih lanjut membantah bahwa para pemimpin republik di Bangka memiliki umpan politik "dualistik". Ia juga membantah telah menyatakan bersedia memberikan Yogyakarta kepada Belanda dengan imbalan konsesi politik untuk seluruh Indonesia. Dia menegaskan, bagaimanapun pernyataannya dalam situasi politik saat ini sama suramnya seperti sebelumnya, dan bahwa upaya harus dilakukan untuk keluar dari kegelapan.[3]
Pasca kesepakatan Rum-Royen dan reaksi yang ditimbulkannya, delegasi Republik Indonesia masih bolak-balik ke Bangka. Pada 11 Mei 1949, mereka tiba kembali di Jakarta setelah melaporkan hasil akhir perundingan kepada Sukarno dan Hatta di Bangka. Tugas mereka semakin berat. Selain membina komunikasi dengan pemerintah Belanda untuk merealisasikan kesepakatan Rum-Royen dan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Indonesia (UNCI) mengawal pelaksanaan butir-butir Resolusi 67 Dewan Keamanan dan Rulling 23 Maret 1949, kini berhadapan dengan 4 kelompok yang harus diberi pengertian agar bersama-sama menerima dan melaksanakan hasil kesepakatan tersebut, yakni pemimpin federal yang bergabung dalam BFO, Pemerintah Darurat di Sumatra, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan oposisi pemerintah Republik Indonesia.
Kontradiksi semakin tajam antara para pemimpin Republik Indonesia di Bangka dan Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang berkedudukan di sekitar Lintau Sumatra Tengah. PDRI menetapkan segala urusan yang berkaitan dengan Sumatera dan kewenangan atas hal-hal lain yang berada di luar Sumatera juga ditangani PDRI. Sehubungan dengan itu diumumkan susunan kabinetnya. Sjafruddin Prawiranegara menjabat Ketua sekaligus Menteri yang membidangi Luar Negeri, Teungku Hassan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Sutan Mohammad Rasyid Menteri Tenaga Kerja, Sosial, Konstruksi dan Urusan Pemuda, dan juga bertanggung jawab atas keselamatan publik, Lukman Hakin Menteri Kehakiman, Ir. Sitompul Menteri Kesehatan dan Ir. Indracaya Menteri Kemakmuran.[4] Merespon pemberitaaan tersebut, juru bicara Republik Indonesia menjelaskan tidak bisa mengkonfirmasi karena hubungan komunikasi antara PDRI dan para pemimpin Republik Indonesia di Batavia dan Bangka sangat buruk. Jika laporan tersebut benar, berarti pembagian kerja di kalangan Republik Indonesia, di mana pekerjaan para menteri yang tidak berada di Sumatera akan dikerjakan para menteri yang tinggal di Sumatra. Nama-nama menteri yang disebutkan dalam laporan itu benar dan kedudukan PDRI berada di pedalaman Sumatra.[5]
[1] Dikutip ulang oleh Harian Het nieuws : algemeen dagblad dan Overijsselsch dagblad edisi 17 Mei 1949
[2] Harian Overijsselsch dagblad edisi 17 Mei 1949
[3] Harian De vrije pers : ochtendbulletin edisi 4 Juni 1949
[4] Harian Overijsselsch dagblad edisi 24 Mei 1949
[5] Harian Het nieuwsblad voor Sumatra edisi 25 Mei 1949