Pasca mundurnya Menteri Luar Negeri Belanda Sassen dan digantikan sementara Mr. Van Maarseveen, arah kebijakan pemerintah Belanda tidak banyak berubah. Dr Beel didampingi direkturnya Dr. Koets berangkat ke Den Haag dan tiba pada hari Rabu, 16 Februari 1949 untuk konsultasi dengan Menteri Luar Negeri sebelum berbicara di parlemen Belanda. Dr Beel menyampaikan proposal yang dikenal Plan Beel (Rencana Beel) yang menekankan akan bekerja sama dan berdiskusi dengan pihak Republik Indonesia. Mr. Van Maarseven menyetujui rencana tersebut. Secara ringkas rencana Beel akan menyetujui pendirian negara bernama Republik Indonesia Serikat, peralihan kedaulatan sesegera mungkin, pemerintah Belanda siap bekerjasama setelah pemerintah federal yang reprentatif terbentuk, Undang-Undnag hubungan Uni Belanda-Indonesia akan dibuat dan dibicarakan secara terpisah, dan akan menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag untuk mempercepat penyerahan kedaulatan Republik Indonesia Serikat.[1] Dalam rapat hari Kamis yang dihadiri Dr Beel, para pemimpin Republik di Bangka akan segera dibebaskan namun tetap dilarang terlibat dalam aktivitas politik di Yogyakarta. Kesepakatan antara Kabinet dan Dr Beel yang diumumkan Menteri van Maarseveen sangat mengembirakan.[2] Secara prinsip Pemerintah Belanda tetap menolak melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan. Sekembalinya ke Jakarta, Dr Beel mengadakan konperensi pers pada tanggal 26 Februari 1949 di Istana Koningsplein (Istana Merdeka) dan menyatakan sebagai berikut:
- Dalam waktu yang dekat bila mungkin pada tanggal 12 Maret 1949, akan diadakan suatu Konferensi Meja Bundar di Den Haag di mana akan diundang sebagai peserta wakil-wakil Pemerintah Republik Indonesia, Pertemuan Musyawarah Federal (BFO) dan Komisi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Indonesia yang menjalankan tugasnya sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949.
- Dalam Konferensi Meja Bundar tersebut Pemerintah Belanda akan mengadakan perundingan dengan wakil-wakil Pertemuan Musyawarah Federal dan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia. Oleh karena itu Pemerintah Belanda berhajat untuk membebaskan pemimpin-pemimpin Republik dari pengasingannya agar dapat diadakan pembicaraan dengan mereka tentang tempat di mana mereka akan menetap (ini berarti bahwa mereka tidak diperkenankan kembali ke Yogyakarta sebagai Pemerintah Republik Indonesia).
- Dalam Konferensi Meja Bundar akan dibicarakan semua masalah yang bersangkutan dengan persiapan untuk mewujudkan Negara Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat yang diharapkan akan dapat dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 1 Juli 1950, sesuai dengan gagasan Dewan Keamanan yang dimuat di dalam resolusinya tanggal 28 Januari 1949. Dalam perundingan yang akan diadakan dalam konferensi tersebut, akan dirundingkan antara lain: Pembentukan Negara Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat dan masa peralihan yang harus dijembataninya, di mana mungkin suatu Pemerintah Federal Sementara akan diperlukan berhubung dengan penyerahan kedaulatan yang dipercepat
- Dalam Konferensi Meja Bundar itu tiap-tiap peserta mempunyai hak sepenuhnya menyatakan pendapat dan pendiriannya secara lisan atau dalam bentuk nota-nota atau kertas kerja.
- Berhubung dengan konsepsi politik baru Pemerintah Belanda sebagai diumumkan oleh Beel Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia menyampaikan undangan kepada pihak-pihak yang bersangkutan".[3]
Setelah pulang dari Den Haag, Pemerintah Belanda mengutus A.H.C. Geiben Penasehat Umum Kehakiman untuk berangkat ke Bangka pada hari Sabtu, 26 Februari 1949 untuk menyampaikan undangan kepada para pemimpin Republik untuk berpartisipasi dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 12 Maret 1949 bersama perwakilan negara federal lainnya. Dalam penjelasan Gieben, parlemen Belanda menolak menerapkan resolusi Dewan Keamanan, tidak akan mengembalikan kekuasaan pemerintahan Republik ke bagian manapun dari wilayahnya dan tidak akan mengizinkan para pemimpin Republik kembali ke Yogyakarta. Langkah ini membuktikan pemerintah Belanda mengingkari adanya perintah Resolusi Dewan Keamanan dan tetap mengajukan proposal perdamaian versi Dr. Beel. Untuk memperkuat argumen yang sudah disampaikan Gieben, Dr Koets Direktur Kabinet Dr Beel berangkat ke Bangka pada hari Senin, 28 Februari 1949 untuk memperjelas maksud dari undangan tersebut dan kembali pada hari Selasa, 1 Maret 1949. Menanggapi kebijakan Pemerintah Belanda, Dr. JH. Van Royen dalam sebuah konferensi pers menyakini tidak ada perbedaan mendasar antara tujuan pemerintah Belanda dan tujuan Dewan Keamanan, menyakinkan niat baiknya dan tidak ingin terjadi perpecahan terbuka dengan Dewan Keamanan PBB soal Indonesia. Pemilihan umum akan dilaksanakan 1 Oktober 1949 di seluruh wilayah Indonesia jika KMB berlangsung dengan lancar dan menghasilkan keputusan yang mengikat semua pihak.
Dengan keluarnya Resolusi BFO tanggal 4 Maret 1949 yang mendukung keteguhan para pemimpin Republik Indonesia, Dr Beel marah besar terhadap BFO dan merasa dikhianati para pemimpin BFO yang selama ini selalu mendukung kebijakan pemerintah Belanda. Rencana Beel mewujudkan penyerahan kedaulatan yang dipercepat melalui KMB dengan kehadirian pemimpin-pemimpin Republik sebagai pribadi mengalami kegagalan total dan kini pemerintah Belanda sendirian menghadapi Republik Indonesia yang didukung 19 negara peserta konferensi Asia di New Delhi, Resolusi Dewan Keamanan dan terakhir BFO. Akibatnya terjerumus kembali ke dalam suatu malapetaka politik yang sangat merugikan pemerintah Belanda sendiri.
[1] Harian Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Jakarta edisi 17 Februari 1949
[2] Harian De vrije pers : ochtendbulletin edisi 19 Februari 1949
[3] Ide Anak Agung Gde Agung, Dari Negara Indonesia Timur ke Negara Indonesia Serikat, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1985, halaman 507-508.